Penentuan umur relatif batuan berdasarkan data palinologi
Referensi:
Umur
formasi batuan sedimen selain dapat ditentukan secara absolut dengan
penanggalan radiometri, juga dapat ditentukan secara relatif berdasar fosil
flora dan fauna yang terdapat dalam batuan tersebut. Umur relatif batuan yang mengandung fosil polen dan spora ditentukan
berdasar pengamatan terhadap kemunculan awal (First Appearance Datum/FAD) dan kemunculan akhir (Last Appearance Datum/LAD) suatu takson
yang merupakan takson indeks, penunjuk maupun penciri atau diagnostik umur
tertentu yang kemudian menjadi ciri
utama untuk zona umur tersebut. Penentuan umur relatif batuan tidak terlepas
dari biostratigrafi, yang dimaksudkan untuk menyusun lapisan batuan secara
bersistem menjadi satuan atau unit biostratigrafi berdasar kandungan dan penyebaran
fosil (Lenz et al.,2000).
Contoh-contoh palinomorf. Salah satunya adalah Monoporites annulatus (bagian baris kedua dari atas, paliing kiri) yang digunakan sebagai penanda zaman Kuarter (sumber: dokumen pribadi) |
Biostratigrafi
adalah studi penentuan umur batuan menggunakan atau berdasarkan fosil flora maupun fauna
yang terkandung di dalamnya,
dengan tujuan untuk korelasi yaitu menunjukkan bahwa lapisan batuan tertentu
dalam suatu bagian tubuh batuan mewakili periode waktu geologi yang sama dengan
lapisan batuan bagian lain. Fosil berguna karena dua batuan sedimen yang
berumur sama
dapat terlihat berbeda karena variasi lokal lingkungan sedimentasi. Mikrofosil seperti
dinoflagelata, polen dan foraminifera sering digunakan sebagai fosil indeks atau
diagnostik yang digunakan dalam biostratigrafi (Lenz et al., 2000).
Biostratigrafi
didasarkan pada hukum superposisi
yang menyatakan bahwa dalam urutan lapisan batuan belum terganggu maka lapisan
termuda adalah lapisan paling atas; hukum horisontalitas yaitu lapisan sedimen
diendapkan hampir secara horisontal dan sejajar dengan permukaan tempat sedimen
tersebut diendapkan, dan juga hukum urutan fauna yang menyatakan bahwa jenis
fosil berbeda sesuai dengan umur. Satuan dasar dalam biostratigrafi adalah zona
atau biozona (Lenz et al.,
2000), yang meliputi:
1. Zona
Kumpulan (Assemblage biozone)
Merupakan
sejumlah lapisan batuan yang dicirikan oleh kumpulan fosil khas atau kumpulan
suatu jenis fosil. Batas serta kelanjutan zona ditentukan oleh batas
kebersamaan dari taksa penyusun yang terdapat dalam zona ini. Nama zona ini
berdasarkan satu unsur fosil atau
lebih yang menjadi ciri utama kumpulan fosilnya. Zona ini berguna sebagai
petunjuk lingkungan pengendapan masa lampau.
2. Zona
Kisaran (Range biozone)
Merupakan
tubuh lapisan batuan mencakup kisaran stratigrafi unsur terpilih dari seluruh
kumpulan fosil yang ada. Zona ini berupa kisaran satu takson maupun kumpulan
takson atau ciri paleontologi lain yang menunjukkan kisaran. Batas dan kelanjutan
zona ditentukan oleh penyebaran tegak/vertikal serta mendatar/horison- tal
dari
takson penciri. Nama zona diambil dari satu jenis fosil penciri utama. Zona ini
berguna untuk menunjukkan umur suatu lapisan batuan.
3. Zona
Puncak (Abundance biozone)
Merupakan
tubuh batuan yang memperlihatkan perkembangan maksimal suatu takson tertentu.
Batas penyebaran vertikal maupun horisontal zona puncak umumnya bersifat subyektif, terbatas
dan bersifat lokal karena kemelimpahan
taksa dalam rekam geologi sangat dipengaruhi oleh paleoekologi, taponomi maupun
diagenesis. Penamaan zona berdasar nama takson yang berkembang secara maksimal
dalam zona tersebut. Zona ini menunjukkan kedudukan kronostratigrafi tubuh
lapisan batuan.
4. Zona
Selang (Interval biozone)
Merupakan
selang stratigrafi antara dua horison biostratigrafi yang ditandai dengan awal
atau akhir kemunculan takson penciri. Batas atas atau bawah zona selang
ditentukan oleh horison pemunculan awal atau akhir takson penciri. Penamaan
diambil dari takson penciri batas atas atau batas bawah tersebut. Keberadaan
zona ini penting terutama dalam korelasi stratigrafi.
5. Zona
Turunan (Lineage biozone)
Merupakan
tubuh batuan mengandung fosil taksa yang secara spesifik menunjukkan suatu
evolusi garis keturunan dari taksa tersebut.
Beberapa
biostratigrafi berdasarkan
fosil polen dan spora atau palinostratigrafi di Indonesia telah disusun oleh
beberapa peneliti, diantaranya Germeraad, dkk (1990), Morley (1978) serta Rahardjo, dkk. (1994) yang secara khusus menyusun palinostratigrafi untuk
pulau Jawa. Rahardjo membagi skala waktu geologi zaman Tersier di pulau
Jawa menjadi delapan zona berdasar fosil polen dan spora diagnostik (indeks) yang ditemukan, yaitu:
1. Zona Monoporites
annulatus
Zona
ini ditandai oleh polen Monoporites
annulatus (Gramineae) yang melimpah berasosiasi dengan Dacrycarpidites australiensis/Podocarpus imbricatus tanpa kehadiran
Stenochlaeniidites papuanus dan
berumur N21-N23 (Plistosen-Holosen) menurut Zonasi Blow.
2. Zona Dacrycarpidites australiensis/Podocarpus
imbricatus
Zona
ini berumur N20-N21 (Pliosen Akhir) dibatasi oleh kepunahan Stenochlaeniidites papuanus serta
kemunculan awal Dacrycarpidites
australiensis/Podocarpus imbricatus.
3. Zona Stenochlaeniidites
papuanus
Zona
ini dibatasi oleh kepunahan Florschuetzia
trilobata dan kemunculan awal Stenochlaeniidites
papuanus dan berumur N16-N20 (Miosen AkhirPliosen Akhir).
4. Zona Florschuetzia
meridionalis
Berumur
N9-N16 (Miosen Tengah-Miosen Akhir). Zona ini ditandai oleh pemunculan awal Florschuetzia meridionalis dan kepunahan
Florschuetzia trilobata.
5. Zona Florschuetzia
levipoli
Dalam
zonasi Blow berumur N6-N8 (Miosen Awal-Miosen Tengah), dibatasi oleh kemunculan
awal Florschuetzia levipoli dan
kemunculan awal Florschuetzia
meridionalis.
6. Zona Florschuetzia
trilobata
Zona
ini berumur N3-N5 (Oligosen-Miosen Awal) dan ditandai oleh kepunahan Meyeripollis naharkotensis dan
kemunculan awal Florschuetzia levipoli.
7. Zona Meyeripollis
naharkotensis
Zona
ini berumur P18-N2 (Oligosen), dicirikan oleh kisaran Meyeripollis naharkotensis dan dalam zona ini dijumpai pula fosil
penunjuk Oligosen lainnya yaitu Cicatricosisporites
dorogensis.
8. Zona Proxapertites
operculatus
Zona
ini berumur Eosen atau P14-P17 menurut Zonasi Blow. Pada zona ini didapatkan juga
penunjuk umur untuk Eosen seperti Proxaperpites
cursus dan Cicatricosisporites
eocenicus dan ditandai oleh kisaran Proxaperpites
operculatus.
Referensi:
Haseldonckx,
P. 1974. Palynologycal Interpretation of
Palaeoenvironments in South East Asia. Sains Malaysiana
3.
Kapp,
R. O. 1969. How To Know Pollen and Spores. Dubuque, Iowa, USA: WMc. Brown
Company Publisher.
Rahardjo,
A. T.,
Polhaupessy T. T., Wiyono S.,
Nugrahaningsih H., Lelono E. B. 1994. Zonasi Polen Tersier Pulau Jawa. Makalah
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Pertemuan
Ilmiah Tahunan Ke-23; Des 1994. Bandung: IAGI.
Suedy, Sri W.A. 2012. Paleorekonstruksi Vegetasi dan Lingkungan Menggunakan Fosil Polen dan
Spora Pada Formasi Tapak Cekungan Banyumas Kala Plio-Plistosen. Thesis.
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Kurniadi, Deddy. 2015. Palynologist: Untuk Analisis Palinologi yang Lebih Baik. https://palinologyst.com
Society for the Promotion of Palynological Research
in Austria (AutPal). PalDat-Palynological
Database: An Online Publication On Recent Pollen. https://www.paldat.org.
Van Geel, Bas dan Schlutz, Frank. Non-Pollen Palynomorphs: “Extra
Fossils” in Pollen Slides. http://nonpollenpalynomorphs.tsu.ru
0 Comments