Pendahuluan
Latar belakang penelitian ini berangkat dari banyaknya argumentasi yang menyebutkan bahwa dataran
Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan yang terekam dalam stratigrafi pegunungan selatan serta Pegunungan
Kulon Progo pada Kala Pleistosen Awal. Menurut Raharjo (2000), setelah
pengangkatan Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki
pegunungan hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal itu berkaitan dengan
tertutupnya aliran air permukaan di sepanjang kaki pegunungan sehingga
terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah. Sayangnya, data umur batuan Kuarter
yang mendukung argumentasi tersebut sangat jarang. Penelitian ini hendak mengungkap sisi lain dari kondisi geologi regional yogyakarta di masa kuarter awal hingga memasuki masa sejarah.
Metodologi Penelitian
Pengukuran stratigrafi detail
telah dilakukan di sepanjang daerah penelitian, terutama di tebing-tebing sungai, lokasi galian pasir-batu dan galian-galian
penyelamatan candi dan pembangunan. Korelasi stratigrafi dilakukan dengan
menggunakan lapisan kunci berupa paleosol (tanah purba) yang selanjutnya diuji
dengan data umur 14C. Penentuan umur dengan metode 14C (karbon 14) ini
merupakan metode yang telah ada sejak tahun 1951 (Stuiver, 1987).
Geologi Daerah Penelitian
Batuan dasar yang menyusun bagian
selatan daerah penelitian adalah batupasir tuf Formasi Semilir berumur
Oligosen-Miosen dan lava bantal basal yang secara stratigrafi terletak di bawah
batupasir tuf. Batuan dasar di bagian barat daya-barat tersusun atas
batugamping nonklastika dan batugamping napal
Formasi Sentolo, sedangkan di bagian barat tersusun atas breksi dan lava
andesit Formasi Andesit Tua. Secara tidak selaras di atas batuan dasar terdapat
endapan Gunung Merapi, yang terdiri atas perselingan endapan lahar, fluvium,
dan endapan awan panas. Di antara batuan
dasar dan endapan gunung api, di beberapa lokasi tersisipi endapan lempung
hitam dalam ketebalan yang bervariasi dari 1,5-20 m.
Sesar-sesar minor juga dijumpai
pada tebing-tebing galian candi. Sesar tersebut didukung pula oleh kondisi
keruntuhan candi yang cenderung runtuh vertikal (Jawa: ambleg), seperti di Candi Kedulan dan Plaosan Kidul. Dasar Candi
Kedulan sebelum direnovasi menunjukkan penampakan bergelombang, sedangkan pada
batu-batu di dasar Candi Plaosan Kidul (lantai halaman) terjadi perbedaan
relief, miring ke barat.
Lokasi daerah penelitian terhadap Gn. Merapi, Peg. Sleatan dan Peg. Kulon Progo (Sri Mulyaningsih, 2006) |
Hasil Penelitian
Hasil analisis stratigrafi berhasil mengidentifikasi endapan lempung
hitam sebagai sedimen genang air di daerah Borobudur, Godean, Kasihan (Wates),
Kalibayem-Kasihan (Bantul), Watuadeg-Sumber, Potorono-Plered, dan Gantiwarno
(Klaten). Tebal endapan tersebut bervariasi dan sebarannya sektoral, sehingga
tidak dapat dikorelasikan. Hasil analisis umur dengan metode 14C
berhasil mengetahui umur endapan genang air tersebut 16590 tahun di Kasihan
(Wates), 6210 tahun di Watuadeg, 20.000 hingga 3430 di Borobudur. Endapan yang
termuda berumur 860 tahun di Borobudur, 740 tahun di Godean, 470 di Kaliduren
(Sileng), dan 310 tahun di KalibayemKasihan (Bantul).
Setelah hasil pengukuran
stratigrafi tersebut dikorelasikan, ternyata penampang dari masingmasing lokasi
tidak saling berkaitan Ke semua singkapan menunjukkan cekungan yang berbeda
meskipun umurnya korelatif. Secara vertikal, bagian bawah masing-masing
singkapan tersusun oleh perselingan lahar, abu gunung api, dan lempung hitam
seperti yang tersingkap di Watuadeg, Borobudur dan Godean. Makin ke atas
perselingan tersebut makin didominasi oleh lahar dan beberapa di antaranya fluvium.
Diskusi
Lingkungan lakustrin (genang air)
yang berkembang di daerah penelitian menurut Murwanto (komunikasi lisan pada
Januari 2006) diindikasikan dengan terdapatnya endapan lempung hitam tertua
yang ditemukan di Borobudur berumur 20.000 tahun pada kedalaman 20 m. Newhall et al. (2000) berargumentasi bahwa pembentukan genang air di
Borobudur tersebut berhubungan dengan aktivitas Merapi. Lebih jauh, mereka
menyebutkannya sebagai akibat proses pembendungan oleh material lahar yang
mencapai hulu Sungai Krasak hingga Pabelan.
Perselingan antara endapan lempung
hitam dan pasir hitam felspatik di lingkungan genang air, serta perselingan
antara material gunung api (abu gunung api dan lahar) dengan lapisan paleosol.
Tebal paleosol dan endapan lempung hitam dapat menunjukkan lamanya waktu
istirahat tersebut, makin tebal maka waktu istirahat makin lama, dan budi daya
makin berkembang tanpa kendala alam.
Urut-urutan kondisi geologi
tersebut adalah genang air secara lokal terbentuk di daerah Borobudur 20.000 tl
dan makin meluas hingga 3410 tl. Genang air berikutnya terjadi di daerah
Kasihan, Wates 16.000 tl, selanjutnya meluas ke timur hingga daerah
Godean. Di Watuadeg genang air terbentuk setelahnya, yaitu 6210 tl, namun
penyebarannya tidak seluas dan masanya tidak selama di daerah Kasihan-Godean
dan Borobudur. Genang air di bagian timur berlangsung lebih lama karena areal
tinggiannya lebih panjang dan lembah yang tertutup lebih luas hingga wilayah
Gantiwarno-Rowo Jombor.
Sekitar abad ke 11-14 aktivitas
Merapi meningkat menghasilkan endapan yang volumenya lebih besar. Akibatnya
genang air di wilayah Borobudur, Godean dan Gantiwarno menyusut, dan makin lama
makin mengering hingga 740 tl di Godean, 470 tl di Borobudur, dan sekitar abad
9-11 di Gantiwarno.
Berdasarkan hasil analisis
stratigrafi gunung api pada daerah yang lebih tinggi (di hulu Merapi), berhasil
diketahui masa-masa aktif Merapi tersebut berlangsung pada abad ke 1-3, abad ke
5-10, abad ke 12-15, dan abad ke 16-17.
Kesimpulan
Lingkungan geologi genang air dan
dataran gunung api aktif telah berkembang di dataran Yogyakarta hingga kaki
Pegunungan Kulon Progo dan Pegunungan Selatan. Perkembangan lingkungan geologi
tersebut berhubungan dengan aktivitas gunung api Merapi sejak 20.000 tl - 310
tl. Sejalan dengan aktivitasnya hingga saat ini, Merapi telah mengendapkan
materialnya dalam volume yang besar, mendangkalkan lingkungan genang air hingga
kering. Penggenangan hingga pendangkalan berlangsung secara bertahap, dalam
waktu yang lama. Selama 20.000 tahun tersebut, secara periodik terjadi
penggenangan, kemudian secara tiba-tiba pendangkalan pada tiap-tiap 50-150
tahun, namun secara umum dan perlahan genang air makin menyusut. Kondisi
geologi di lingkungan dataran gunung api dalam 50-150 tahun sekali terjadi
pengendapan lahar dan abu gunung api, serta selama 50-150 tahun berikutnya
terjadi pelapukan membentuk soil. Kondisi tersebut mendorong masyarakat pada masa sejarah
untuk berbudi daya dan mendirikan bangunan seperti candi hingga periode bencana
berikutnya.
Disadur dari jurnal berjudul Perkembangan Geologi pada Kuarter Awal sampai Masa Sejarah dalam Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2, Juni 2006: 103-113
2 Comments
test
ReplyDeletemakasih kak udah share
ReplyDeletemanfaat csr