Palinologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
palinomorf. Palinomorf yang secara umum dipelajari adalah spora dan polen tumbuhan,
serta beberapa bentuk palinomorf yang lain seperti Foraminifera Test Lining (FTL), Dinoflagellates, Acritarch, dsb. Palinomorf
sendiri merupakan suatu bentuk alami berukuran mikroskopis, berdinding organik,
dan dapat diamati setelah dilakukan proses preparasi dalam konsep palinologi.
Setelah melewati proses preparasi palinologi, tahap selanjutnya adalah
melakukan analisis terhadap individu maupun kelompok palinomorf yang telah
tersedia di atas slide analisis. Terdapat berbagai macam cara untuk melakukan
pengamatan, mulai dari pengamatan visual, yang melingkupi pengamatan terhadap bentuk
fisik palinomorf, hingga penghitungan jumlah palinomorf, dsb. Metode analisis
yang diterapkan bergantung pada tujuan dari penelitian tersebut, misalnya, bila
hendak mengetahui lingkungan pengendapan dalam palinologi, maka selain jenis
individu/taksa palinomorf diidentifikasi, juga dikalkulasi jumlah
keseluruhan per taksa/individu tersebut. Seperti halnya pengamatan terhadap
mikrofosil lainnya, pengamatan terhadap palinomorf juga membutuhkan kesabaran
dan ketelitian yang tinggi dari sang peneliti.
Pengamatan dan analisis palinologi
Parameter pengamatan palinologi yang digunakan adalah
sifat dan ciri fosil polen serta spora yang meliputi ukuran, bentuk,
ornamentasi, dan apertura dalam bentuk identifikasi morfologi. Pengamatan,
identifikasi dan penghitungan fosil polen dan spora dilakukan pada seluruh
sampel yang diambil (800 µL) dan dibuat preparat mikroskopis, sehingga secara
kuantitatif fosil yang ditemukan adalah jumlah fosil polen dan spora per 800
µL. Selain fosil polen dan spora, Dinocysts
dan FTL (Foraminifera Test Lining)
juga diamati sebagai data palinomorf laut atau marin.
Identifikasi, penentuan taksa fosil polen dan spora
serta afinitas botani menggunakan beberapa referensi acuan, antara lain: Morley
(1990), koleksi referensi gambar Polen Marker
di Indonesia (www.geocities.ws/pollencenter) oleh Yulianto dan Sukapti. Koleksi
referensi dari PalDat (www.paldat.org) dan An
Illustrated Guide to Pollen Analysis (Moore & Webb, 1978).
Pengamatan morfologi palinomorf fosil polen serta
spora pada perbesaran 100X hingga 400X, menggunakan mikroskop polarisasi yang
tersedia di laboratorium Sumber Daya Mineral, Institut Sains & Teknologi
AKPRIND, Yogyakarta. Pemotretan fosil palinomorf menggunakan kamera digital
Sony dan Moticam Microscope Camera 5.0.
Pengelompokkan taksa flora darat/terestrial atas dasar kesamaan kelompok habitat ekologi (Haseldonckx, 1974) |
Analisis palinologi terhadap fosil palinomorf yang
ditemukan pada lapisan sedimen yang diambil adalah sebagai sebagai berikut:
a. Pengamatan morfologi dan identifikasi fosil polen dan
spora serta palinomorf lainnya menggunakan mikroskop untuk mengetahui taksa
flora penghasilnya. Setelah itu dihitung unit atau individu fosil palinomorf
(polen, spora, Dinocysts dan FTL) untuk setiap sampel yang diamati.
Berdasarkan pengamatan ini, dapat diketahui flora atau daftar seluruh taksa
tumbuhan yang pernah hadir atau tumbuh di lokasi penelitian pada masa lampau.
Persentase palinomorf dalam tiap sampel secara umum dihitung dengan rumus:
b. Pengelompokan taksa flora darat atau terestrial atas
dasar kesamaan kelompok habitat ekologi menurut model pengelompokan
Haseldonckx, 1974 (ilustrasi di atas) yang dimodifikasi, meliputi kelompok habitat:
Mangrove, Mangrove belakang (Back
mangrove), riparian, air tawar (fresh
water), dataran rendah (lowland),
pegunungan (montane) dan
Pteridophyta. Hal ini dapat menggambarkan dinamika vegetasi darat berdasarkan
lingkungan atau habitatnya pada periode waktu tertentu.
c. Analisis biostratigrafi dengan tujuan untuk mengetahui
umur batuan secara relatif menggunakan zona kisaran atau selang dari taksa
terpilih. Zona kisaran adalah tubuh lapisan batuan yang mencakup stratigrafi
terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada. Zona ini dapat berupa zona
kisaran satu unsur takson, kumpulan takson atau ciri paleontologi lain yang
menunjukkan kisaran atau zona selang dari dua takson diagnostik atau penanda.
d. Pada palinostratigrafi Tersier terutama di Asia
Tenggara dicirikan dengan kehadiran fosil polen-spora seperti Stenochlaeniidites papuanus, Dacrycarpidites australiensis/Podocarpus
imbricatus dan Monoporites annulatus. Ketiga fosil tersebut secara
berurutan merupakan fosil diagnostik untuk umur Miosen-Holosen di Asia Tenggara
serta Pulau Jawa khususnya (Morley, 1978; Rahardjo, dkk., 1994), sehingga dalam
penentuan umur relatif batuan dalam penelitian ini, kehadiran ketiga fosil
diagnostik tersebut perlu dicermati dengan seksama.
Referensi:
Haseldonckx,
P. 1974. Palynologycal Interpretation of
Palaeoenvironments in South East Asia. Sains Malaysiana
3.
Kapp,
R. O. 1969. How To Know Pollen and Spores. Dubuque, Iowa, USA: WMc. Brown
Company Publisher.
Rahardjo,
A. T.,
Polhaupessy T. T., Wiyono S.,
Nugrahaningsih H., Lelono E. B. 1994. Zonasi Polen Tersier Pulau Jawa. Makalah
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Pertemuan
Ilmiah Tahunan Ke-23; Des 1994. Bandung: IAGI.
Suedy, Sri W.A. 2012. Paleorekonstruksi Vegetasi dan Lingkungan Menggunakan Fosil Polen dan
Spora Pada Formasi Tapak Cekungan Banyumas Kala Plio-Plistosen. Thesis.
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Kurniadi, Deddy. 2015. Palynologist: Untuk Analisis Palinologi yang Lebih Baik. https://palinologyst.com
Society for the Promotion of Palynological Research
in Austria (AutPal). PalDat-Palynological
Database: An Online Publication On Recent Pollen. https://www.paldat.org.
Van Geel, Bas dan Schlutz, Frank. Non-Pollen Palynomorphs: “Extra
Fossils” in Pollen Slides. http://nonpollenpalynomorphs.tsu.ru
0 Comments