Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Erupsi Anak Krakatau 2018 Sebetulnya Memicu Tsunami Setinggi 100 Meter

Kondisi Anak Krakatau sebelum erupsi 22 Desember 2018
Kondisi Anak Krakatau sebelum erupsi 22 Desember 2018 (www.cruisemapper.com)

Letusan mematikan Gunung Anak Krakatau di tahun 2018 memicu gelombang paling tidak setinggi 100m yang sebenarnya dapat menimbulkan kehancuran besar. Namun sebaliknya, gelombang tersebut malah bergerak ke arah lain.

Sebanyak 400 jiwa menjadi korban pada Desember 2018 lalu ketika Anak Krakatau erupsi dan sebagian tubuhnya runtuh ke dalam laut, kejadian itu menciptakan gelombang yang bergerak ke arah barat menuju pulau Sumatera. Gelombang ini mencapai ketinggian 5m dan 13m ketika sampai ke daerah pesisir satu jam kemudian.

Peta bagian kiri menunjukkan topologi wilayah India, Asia Tenggara dan Australia serta zona subduksi utama di wilayah tsb. Garis hitam merepresentasikan batas zona subduksi lempeng Indo-Australia bagian utara, sementara zona subduksi kecil diwakili warna abu-abu (dimodifikasi oleh Richards et al., 2007). Peta bagian kanan, relief berbayang menunjukkan DEM wilayah Selat Sunda, lokasi Anak Krakatao ditandai dalam kotak hitam (Giacchetti et al., 2012). Panah warna merah merupakan lokasi Anak Krakatau dalam peta besar
Peta bagian kiri menunjukkan topologi wilayah India, Asia Tenggara dan Australia serta zona subduksi utama di wilayah tsb. Garis hitam merepresentasikan batas zona subduksi lempeng Indo-Australia bagian utara, sementara zona subduksi kecil diwakili warna abu-abu (dimodifikasi oleh Richards et al., 2007). Peta bagian kanan, relief berbayang menunjukkan DEM wilayah Selat Sunda, lokasi Anak Krakatao ditandai dalam kotak hitam (Giacchetti et al., 2012). Panah warna merah merupakan lokasi Anak Krakatau dalam peta besar (blogs.egu.eu)

Namun, analisis terbaru dari para peneliti dari Brunel University London dan Universitas Tokyo menunjukkan bahwa kehancuran akibat bencana tersebut dapat jauh lebih buruk akibat terciptanya gelombang, dengan tinggi mulai dari 100m dan 150m, yang bergerak menuju wilayah pesisir terdekat.

“Ketika material gunung api runtuh ke dalam laut terjadilah perpindahan atau pergerakan permukaan air,” jelas Dr. Mohammad Heidarzadeh, seorang asisten profesor teknik sipil dari Brunel yang memimpin penelitian ini. “Kejadian ini seperti halnya melemparkan sebuah batu ke dalam bak air, jatuhnya batu akan menciptakan gelombang dan perpindahan air.”

“dalam kasus Anak Krakatau, ketinggian air yang bergerak akibat runtuhnya material gunung api mencapai 100m.”

Meskipun tinggi gelombang dengan cepat akan berkurang akibat pengaruh kombinasi antara gravitasi yang menarik masa air ke bawah dan gesekan antara gelombang air dan dasar laut, tapi ketinggiannya masih dapat lebih dari 80m ketika gelombang tersebut menghantam pulau tidak berpenghuni yang jaraknya hanya beberapa kilometer saja dari Anak Krakatau.

“Syukurlah tidak ada yang menghuni pulau itu,” imbuh Dr. Heidarzadeh. “Bagaimanapun, bila ada pemukiman penduduk di daerah pesisir dekat gunung api, katakanlah sekitar 5km jauhnya, ketinggian tsunami yang terbentuk sebetulnya dapat mencapai antara 50m hingga 70m ketika menerjang pesisirnya.”

Ilustrasi yang menunjukkan potensi erupsi anak Krakatau 2018 yang mampu menciptakan tsunami dengan ketinggian (A) 100-150 meter dengan lebar (L) 1,5-2 kilometer akibat tubuh gunung setinggi 228 meter runtuh ke dalam laut
Ilustrasi yang menunjukkan potensi erupsi anak Krakatau 2018 yang mampu menciptakan tsunami dengan ketinggian (A) 100-150 meter dengan lebar (L) 1,5-2 kilometer akibat tubuh gunung setinggi 228 meter runtuh ke dalam laut (geologypage.com)

Dalam kasus ini, Dr. Heidarzadeh memberikan contoh kejadian erupsi Krakatau tahun 1883 yang membentuk tsunami dan menerjang daratan dengan ketinggian maksimal 42m. Gelombang ganas ini membawa kematian pada 36.000 jiwa. Pada masa itu daerah pesisir belum padat berpenghuni.

Penelitian terbaru ini sangat penting bagi penduduk di daerah pesisir yang tinggal berdampingan dengan gunung api di seluruh di dunia, kata Dr. Heidarzadeh, sebagaimana yang pertama kalinya disadari bahwa sebuah gelombang raksasa dapat terbentuk pada saat Anak Krakatau erupsi di tahun 2018.

Analisis baru yang dipublikasikan dalam jurnal Ocean Engineering, menggunakan data ketinggian muka air laut dari lima lokasi yang dekat dengan Anak Krakatau untuk memvalidasi permodelan komputer yang mensimulasikan pergerakan tsunami dari mulai runtuhnya gunung api hingga terjadinya longsor.

“Pengukuran dan pengumpulan data dilakukan oleh peralatan yang dioperasikan oleh pemerintah Indonesia.” Kata Dr. Heidarzadeh.

“Kami menggunakan data-data aktual itu untuk memastikan simulasi yang kami buat sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Hal ini teramat penting untuk memvalidasi simulasi komputer dengan data yang aktual.”

Indonesia, salah satu wilayah yang paling rentan terhadap bencana gempa dan tsunami di muka Bumi, dihantam oleh dua gelombang mematikan di tahun 2018. Satunya dipicu oleh Gunung Anak Krakatau, dan satunya lagi akibat longsor di lepas pantai Sulawesi yang memakan korban lebih dari 2000 jiwa.

Kedua foto menunjukkan kondisi Anak Krakatau, bagian kiri sebelum erupsi 22 Desember 2018, sedangkan bagian kanan pasca erupsi. Terlihat sebagian besar tubuh gunung runtuh ke dalam laut yang memicu terbentuknya tsunami
Kedua foto menunjukkan kondisi Anak Krakatau, bagian kiri sebelum erupsi 22 Desember 2018, sedangkan bagian kanan pasca erupsi. Terlihat sebagian besar tubuh gunung runtuh ke dalam laut yang memicu terbentuknya tsunami (blogs.egu.eu)

Dr. Heidarzadeh saat ini akan bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk memetakan lantai samudera Indonesia bagian timur dan mengembangkan skema ketahanan tsunami yang baru, sebuah proyek dengan dana sebesar £500,000 dari The Royal Society.

 

Diterjemahkan dari artikel berjudul Tsunami Unleashed By Anak Krakatoa Eruption Was At Least 100m High dalam geologypage.com

Post a Comment

0 Comments